Barang Kuis, Faktainews.com | Di sebuah desa sederhana bernama Sugiharjo, Dusun IV, Kecamatan Batang Kuis, tinggal seorang lelaki tua yang akrab disapa Wak Ali. Nama lengkapnya adalah Ali Hasan, seorang tukang kusuk tradisional yang telah mengabdikan hidupnya selama lebih dari seperempat abad. Di usianya yang kini menginjak 62 tahun, Wak Ali masih setia menjalani profesi yang telah menjadi bagian dari dirinya, sebuah profesi yang bukan sekadar pekerjaan, melainkan pengabdian dan doa bagi setiap orang yang datang kepadanya dengan harapan sembuh.
Sejak usia muda, Wak Ali telah akrab dengan dunia pengobatan tradisional. Dengan sentuhan tangannya yang lembut namun penuh kekuatan, ia mengobati orang-orang yang datang dengan beragam keluhan: sakit pinggang, urat tegang, anak kecil yang masuk angin, bahkan pasien yang mengalami stroke maupun kanker. Apa yang dilakukan Wak Ali bukan hanya pijatan semata, melainkan doa, keikhlasan, dan harapan yang ia titipkan dalam setiap usapan tangan.
Selama 25 tahun menjadi tukang kusuk, nama Wak Ali kian dikenal, bukan hanya di sekitar Batang Kuis. Pasien-pasiennya rela datang dari daerah jauh, mulai dari Rampah, Dolok Masihul, Bagan Deli, hingga Medan. Mereka percaya pada keikhlasan Wak Ali dan kesabaran tangannya yang sering kali mampu memberikan kelegaan dan semangat baru bagi yang sakit.
“Kalau Wak Ali yang kusuk, rasanya ada harapan sembuh,” begitu kata sebagian orang.
Namun bagi Wak Ali, semua itu bukan kehebatan dirinya. Ia selalu menegaskan, apa yang ia lakukan hanyalah perantara. “Semua kesembuhan datangnya dari Allah, saya hanya dititipkan sedikit kemampuan,” ucapnya dengan senyum tulus.
Hidup Sederhana di Rumah Jadul.
Di balik kemasyhuran namanya sebagai tukang kusuk, Wak Ali menjalani hidup sederhana. Ia tinggal di sebuah rumah tua yang sudah tampak jadul. Dinding-dinding kayunya mulai lapuk dimakan usia, atapnya sering bocor ketika hujan deras turun, dan lantainya sederhana tanpa keramik berkilau. Namun dari rumah sederhana itulah, banyak orang datang membawa harapan, dan banyak pula yang kembali pulang dengan senyuman lega.
Meski hidup dalam kesederhanaan, Wak Ali tidak pernah mengeluh. Baginya, rumah tua itu adalah tempat penuh kenangan dan kebahagiaan. Di sana, ia melewati hari-harinya dengan sabar, ditemani istri dan beberapa anak yang sesekali datang menjenguk. “Rumah ini memang jadul, tapi di sini saya bisa bahagia, karena di sinilah doa-doa saya dipanjatkan,” ucapnya.
Semangat di Usia Senja.
Menjadi tukang kusuk di usia 62 tahun tentu bukan hal yang mudah. Tenaga sudah tidak sekuat dulu, tangan yang dulu cekatan kini lebih cepat lelah, dan tubuh sering kali terasa sakit sendiri setelah seharian mengurut pasien. Namun semua itu tidak menyurutkan semangat Wak Ali. Ia tetap menjalani profesi ini dengan penuh keikhlasan.
Di setiap pagi, ia membuka pintu rumahnya dengan senyum ramah. Pasien yang datang disambutnya tanpa pamrih. Kadang ia tidak menentukan tarif pasti, hanya menerima seikhlasnya. Ada yang memberi uang, ada pula yang hanya membawa buah atau beras. Bagi Wak Ali, itu semua sudah lebih dari cukup.
“Yang penting mereka sembuh, itu sudah jadi rezeki besar bagi saya,” katanya lirih.
Doa Dalam Keheningan Malam.
Di balik semangat dan senyumnya, ada sisi lain dari kehidupan Wak Ali yang jarang diketahui orang. Ketika malam tiba, setelah semua pasien pulang, ia sering duduk sendirian di sudut rumah. Dalam keheningan, ia memanjatkan doa panjang kepada Allah. Ia bersyukur atas keahlian yang dianugerahkan kepadanya, meski tidak menjadikannya kaya raya. Baginya, kemampuan mengobati adalah tanda cinta Allah, titipan yang harus ia jaga dengan sebaik-baiknya.
“Ya Allah, semoga tangan ini tetap bermanfaat untuk orang banyak, meski tubuh saya sudah semakin tua. Jangan biarkan saya berhenti membantu mereka yang sakit, selama Engkau masih mengizinkan,” begitu doa Wak Ali yang selalu ia ucapkan dengan mata berkaca-kaca.
Kehidupan Yang Menyentuh Hati.
Kisah Wak Ali bukan hanya tentang profesi seorang tukang kusuk, melainkan tentang ketulusan dan pengabdian. Di saat banyak orang berlomba mencari kekayaan, ia tetap setia pada jalan sederhana yang penuh makna. Ia percaya bahwa keberkahan hidup bukan diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, melainkan seberapa banyak manfaat yang bisa diberikan untuk orang lain.
Tetangga dan pasiennya sering merasa terharu melihat kesederhanaan hidup Wak Ali. Dengan rumah yang seadanya, pakaian sederhana, dan kehidupan yang pas-pasan, ia tetap terlihat bahagia. “Bahagia itu bukan karena punya banyak, tapi karena bisa bersyukur,” ucapnya pelan suatu kali kepada seorang pasien yang menanyakan rahasia ketegarannya.
Harapan Yang Tak Pernah Padam.
Kini usia Wak Ali terus bertambah. Rambutnya memutih sedikit demi sedikit, tubuhnya mulai membungkuk, dan langkahnya tak lagi sekuat dulu. Namun semangatnya tetap menyala. Ia masih ingin terus membantu orang-orang yang datang dengan harapan.
Kadang, ia merasa khawatir: “Bagaimana kalau nanti saya sudah tidak sanggup lagi? Siapa yang akan membantu mereka?” Namun di balik kekhawatiran itu, ia percaya bahwa Allah akan selalu menghadirkan jalan. Yang terpenting baginya adalah menjalani hari-hari yang tersisa dengan sebaik-baiknya, dengan terus bersyukur dan bermanfaat untuk orang lain.
Sebuah Pelajaran Kehidupan.
Kisah hidup Wak Ali adalah pelajaran berharga tentang ketulusan, kesabaran, dan keikhlasan. Dari tangannya yang sederhana, banyak orang merasakan kesembuhan. Dari rumahnya yang jadul, banyak doa tulus terpanjat. Dan dari hidupnya yang penuh keterbatasan, banyak orang belajar tentang arti syukur yang sesungguhnya.
Di dunia yang semakin modern, ketika pengobatan tradisional kerap dipandang sebelah mata, Wak Ali tetap menjadi bukti bahwa sentuhan keikhlasan bisa jauh lebih berharga daripada sekadar obat mahal.
Di setiap senyuman pasien yang sembuh, ada doa yang tulus dari seorang lelaki tua bernama Wak Ali. Dan di setiap pijatan tangannya, ada cinta yang tak pernah habis, cinta kepada manusia, dan cinta kepada Allah.
Reporter: Ambri.